Dalam bab sebelumnya, kita telah membahas pandangan Zionis bahwa kembalinya orang Yahudi ke Palestina merupakan sebuah “tujuan suci” dan bahwa perang yang dilancarkan untuk mencapai tujuan ini adalah sebuah “perang suci.” Gagasan ini memainkan peran penting dalam pendidikan orang-orang Israel. Menurut fakta yang ada, pemimpin-pemimpin utama Israel ada kalanya memberikan pandangan mereka bahwa anak-anak harus disuruh menjalani suatu pendidikan “Zionis.” Misalnya, Menteri Pendidikan Israel Limor Livnat memberikan pernyataannya tentang salah satu dari hari-hari terkeras selama Intifadah al-Aqsa bahwa “mengingat keadaan ini, anak-anak bangsa diminta untuk menerima pendidikan Zionis-Yahudi” dan bahwa “Sekolah-sekolah adalah bagian dari keamanan internal negara Israel."27 Perjanjian Lama mempunyai satu tempat khusus dalam sistem pendidikan ini, yang dirancang para Zionis untuk berpusat pada ayat-ayat tertentu. Kitab ini mengajak dengan penuh kebanggaan untuk melakukan tindakan kejam yang dilakukan (atau harus dilakukan) oleh Bani Israel, dibawah pimpinan Yosua, atas pribumi Palestina.
Dalam karya klasiknya The Case of Israel: A Study of Political Zionism, Roger Garaudy menerangkan sikap tersebut seperti berikut:
Menurut pihak berwenang Israel, anak-anak harus diajarkan ideologi Zionis dari usia muda. Akibatnya, anak-anak dibesarkan dengan keyakinan bahwa mereka memiliki ras unggul. Perlakuan brutal tentara Israel atas warga Palestina adalah akibat langsung ajaran ini. |
Kitab Yosua, yang seringkali diejawantahkan hari ini oleh para rabbi tentara di Israel untuk menganjurkan perang suci, dan juga dalam banyak pengajaran-pengajaran sekolah, bersandar pada keharusan sakral adanya pemusnahan atas penduduk yang ditaklukkan, menumpas dengan “mata pedang” segala sesuatu “baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda,” (Yosua, 6:21), seperti kita baca dalam cerita Jericho dan begitu banyak kota-kota lainnya.28
Perilaku yang ditunjukkan tentara-tentara Israel yang dibina dengan gagasan seperti ini sejalan dengan sikap ini. Saat ini dalam pendudukan Palestina, kejadian-kejadian mengerikan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari: Bayi berusia 18 bulan yang meninggal di tempat tidurnya ketika rumah-rumah mereka diserang oleh tembakan helikopter Israel, gadis remaja yang bekerja di kebun zaitun tertembak dan terbunuh tanpa alasan apa pun, dan anak-anak yang kembali ke rumahnya dari sekolah dengan luka dan lumpuh seumur hidupnya. Sistem pendidikan Zionis adalah akar dari masa tak berprikemanusiaan dan menghalalkan semua cara ini. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dan cuci otak ini sangat berhasil guna. Dalam sebuah pengujian yang dilakukan oleh ahli psikologi Tel Aviv University G. Tamarin, sebuah pernyataan yang menggambarkan pembantaian Jericho dari Kitab Yosua dari Perjanjian Lama dibagi-bagikan kepada murid-murid kelas empat dan delapan. Mereka ditanya: “Anggaplah Tentara Israel menduduki sebuah desa Arab dalam sebuah pertempuran. Apakah kalian berpikir perlu, atau tidak, untuk bertindak melawan para penduduk seperti yang dilakukan Yosua kepada penduduk Jericho?” Jumlah yang menjawab “Ya” beragam dari 66% hingga 95% menurut sekolah yang didatangi atau kibbutz atau kota tempat anak-anak tinggal.29
Pandangan tentang “janji”, bersama-sama dengan makna perwujudannya (sebagai pemimpin Zionisme politik yang berasal dari Kitab di mana Yosua menceritakan takdirnya untuk memusnahkan penduduk sebelumnya, yang ia lakukan berdasar perintah Tuhan dan dengan pertolongannya) ditambah ungkapan “orang-orang terpilih” dan “Israel yang lebih agung” dari Nil hingga Eufrat, membentuk dasar-dasar ideologi Zionisme politik.30
Penembak jitu Israel menembak warga sipil Palestina tak bersenjata, termasuk wanita dan anak-anak. |
Buku harian seorang tentara Israel yang diterbitkan oleh surat kabar Israel Davar adalah contoh penting untuk hal ini. Tentara yang kita bicarakan ini ikut serta dalam sebuah operasi untuk mengepung desa Palestina Ed-Dawayma pada tahun 1948, dan menggambarkan kejadian kejam yang ia saksikan:
Mereka membunuh antara delapan puluh hingga seratus lelaki, wanita, dan anak-anak Arab. Untuk membunuh anak-anak, mereka (para tentara) mematahkan kepala mereka dengan tongkat. Tidak ada satu rumah pun tanpa mayat. Para wanita dan anak-anak di desa tersebut dipaksa tinggal di dalam rumah tanpa makanan dan air. Kemudian, para tentara datang untuk meledakkan mereka dengan dinamit.
Seorang komandan memerintahkan seorang tentara untuk membawa dua wanita ke sebuah bangunan tempat ia menembaki mereka… Tentara lainnya bangga karena telah memerkosa seorang wanita Arab sebelum menembak mati dirinya. Wanita Arab lainnya yang mempunyai bayi disuruh membersihkan tempat itu selama beberapa hari, kemudian mereka menembaknya berikut bayinya. Para komandan yang terdidik dan sopan yang dianggap sebagai “orang baik” …. menjadi pembunuh tak berprikemanusiaan, dan ini tidak terjadi dalam sebuah pertempuran, melainkan hanya sebuah cara pengusiran dan pemusnahan. Semakin sedikit orang Arab yang tertinggal, semakin baik.31
Ini hanyalah salah satu dari banyak peristiwa kejam lainnya yang telah terjadi selama 50 tahun terakhir.
Sebelum pemerintahan Israel didirikan, kelompok Haganah, Irgun, dan Stem bertanggung jawab atas pengusiran orang-orang Palestina dari tanah mereka. Organisasi teroris sebelum 1948 dan tentara Israel setelah 1948 ini melakukan suatu kampanye teroris atas penduduk sipil Arab. Menachem Begin, pemimpin Irgun, kelak menjadi perdana menteri, menerangkan strategi mereka: "Orang-orang Arab berjuang dengan gigih dalam mempertahankan rumahnya, para wanita dan anak-anak mereka."32 Dengan kata lain, perang Zionis akan dilakukan melawan orang-orang tak berdosa.
Dan memang, semenjak tanggal tersebut orang-orang Palestina telah berjuang melindungi rumah mereka, para wanita, dan anak-anak dari kebijakan resmi Israel menteror seluruh orang-orang Palestina. Wartawan surat kabar dan ahli Timur Tengah Flora Lewis menerangkan kekejaman gaya Israel ini dalam artikelnya di International Herald Tribune:
Pihak berwenang Israel sekarang telah mengakui di depan publik sebuah kebijakan “serangan terarah” atas orang-orang Palestina yang dipercaya akan terlibat dalam terorisme. Ini merupakan pembunuhan politis terencana, yang sangat tepat disebut “tindak kriminal… pembunuhan” oleh Moshe Neghi, seorang jurnalis Israel terkemuka… Wakil Menteri Pertahanan Ephraim Sneh menyebutkan di radio bahwa kebijakan ini tegas."Jika ada orang yang melakukan atau berencana melakukan serangan teroris, dia harus dipukul… Inilah yang efektif, tepat, dan adil."33
HUKUMAN MATI DI JALANAN…
DAN PENJAGAL
Hampir tidak ada hari tanpa darah tertumpah dari orang yang tak bersalah di Palestina. Tentara Israel secara terencana menghancurkan orang-orang Palestina. Desa-desa dibom, rumah-rumah dimusnahkan, dan ladang-ladang dibakar. Sementara kekejaman ini muncul di media internasional dari waktu ke waktu, yang menyedihkan, pemimpin dunia masih belum cukup bertindak. Sebuah artikel dalam Crescent International dengan jelas menampilkan keadaan ini ketika menyatakan: “Palestinian deaths mount as Israelis given freedom to commit atrocities (Kematian warga Palestina memuncak ketika Israel memberi kebebasan melakukan pembantaian).” The Washington Report on Middle East Affairs, dalam artikelnya “In Gaza, Israeli Rockets Replace Human Rights (Di Gaza, Roket-roket Israel Menggantikan Hak Azazi Manusia)” memberi peringatan bahwa kekerasan di Palestina hanya akan makin memburuk. Berita lain di media Turki juga mencerminkan parahnya keadaan. |
Harus ditekankan bahwa, seperti disebutkan Sneh, upaya Israel ini tidak terbatas pada unsur-unsur teroris, melainkan juga mentargetkan seluruh orang.
Perincian yang diberikan di sini hanyalah sebagian kecil dari kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah Israel. Namun ini adalah sebuah tindakan yang dikenal baik oleh orang-orang Muslim Palestina, karena ada kemiripan yang erat antara penggambaran Al-Qur'an tentang Firaun dengan apa yang telah dilakukan pemimpin Israel Zionis kepada orang-orang Palestina tak berdosa. Dalam masanya, Firaun menetapkan sasaran orang-orang Yahudi yang lemah, tak punya pelindung dan dengan kejam membunuh mereka. Juga, pemimpin kaum Firaun mempunyai keterikatan yang kuat akan tanah mereka, sehingga Firaun berkata bahwa Musa "ingin mengusir kamu dari tanahmu” (Al-Qur'an, 7: 110)Wartawan Israel Uri Avnery menyoroti kemiripan ini. Dalam artikel “Pembunuhan Arafat,” ia mengingatkan kita bahwa salah satu keyakinan dasar Yudaisme adalah bahwa masa perbudakan Yahudi di Mesir tidak akan pernah terlupakan. Menurutnya, apa yang dilakukan orang-orang Israel atas Palestina saat ini hanyalah suatu bentuk kekejaman yang ditimpakan kepada leluhur Yahudi mereka oleh Firaun:
Dalam mitos baru yang terlahir di depan mata kita, Sharon adalah Firaun dan kita adalah orang-orang Mesir kuno. Dalam cerita tentang Keluaran, Alkitab menyebut firman Tuhan: “Aku telah mengeraskan hati (Firaun) dan hati budak-budaknya.” Setelah musibah yang menimpanya, Firaun melanggar janjinya untuk membebaskan orang-orang Israel… Dia (Tuhan) ingin bangsa Israel dikeraskan oleh kekerasan, sebelum mereka memulai perjalanan panjangnya. Inilah yang terjadi kepada bangsa Palestina sekarang.34
Ayat berikut ini menggambarkan bagaimana Firaun membunuh orang-orang yang tak berdaya:
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari (Fir'aun dan) pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu, membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Tuhanmu". Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Qur'an, 14:6-7)
Dengan bantuan Allah, Bani Israil akhirnya keluar dari kekejaman dan tidak berprikemanusiaannya Firaun. Pada masa sekarang, radikalisme Israel ada pada kedudukan Firaun dan menganjurkan kekejaman. Orang-orang Palestina harus mengikuti himbauan Allah kepada Bani Israel pada saat itu: Sabarlah, percayalah kepada Allah, dan tetaplah di atas jalan-Nya yang benar.
SEORANG TENTARA ISRAEL MELUKISKAN KEKEJAMAN Serangan Libanon pertama saya adalah pada tahun 1986. Saya wajib militer Israel berusia 19 tahun, dan peleton penerjun payung saya dikirim ke suatu desa yang saya lupa namanya…. Kami mendobrak pintu sebuah rumah, memeriksa keluarga di dalamnya, dan mengeluarkan seorang pria berusia separuh baya. Setelah menutup matanya dan mengikat tangannya di belakang punggungnya, kami membawanya ke sebuah jalanan sepi, memaksanya berlutut, dan menaruh senjata di kepalanya, mengancam menembak jika ia tidak bicara. Seorang petugas perdamaian PBB muncul dan mengakhiri insiden itu, tapi masih akan ada lagi yang terjadi. Hari berikutnya kami melakukan hukuman mati yang tidak masuk akal atas seorang anak Libanon berusia 10 tahun. Kami memaksa keluarganya masuk dapur dan menyeretnya ke samping kebun. Letnan saya memasukkan kepalanya ke dalam kotoran dan saya memukulkan senapan saya ke kepalanya. Meskipun tentara itu mengancam menembak kepalanya, bocah itu tidak menjawab, tetap membisu… Saya adalah prajurit pindahan dari satuan lain, dan rekan saya lebih terbiasa dengan aksi seperti ini… Orang desa yang sudah tua, wanita, dan anak kecil dijebak di rumah mereka, diperintah menjalani jam malam 24 jam. Para lelaki mereka dikumpulkan di suatu ruangan terpusat, mata ditutup, dan diseret untuk disidik. Kebrutalan tak bertanggung jawab ini tak terbatas pada prajurit berpendapatan rendah. Omri, anak seorang pejabat terpandang, suka menembak dengan memberondong orang-orang desa yang mengintip melalui pintu-pintu… Selama serangan bulan-bulan pertama, Israel membunuh 12.000 hingga 15.000 orang dan kehilangan 360. Meskipun korban di pihak Israel itu adalah para prajurit, sebagian besar korban mereka justru orang-orang sipil. James Ron, penulis artikel ini, asisten profesor sosiologi pada John Hopkins University, adalah seorang penyidik lapangan sebuah kelompok hak asasi manusia. (Boston Globe, 25 Mei 2000) |
Pembantaian oleh Israel
Beberapa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Israel dan organisasi teroris (seperti Haganah, Irgun, dan Stern) antara 1948 dan 1982 akan digambarkan dalam halaman-halaman berikut ini. Tidak ada satu pun pembantaian itu yang ditujukan kepada kelompok-kelompok bersenjata. Sejarah Israel penuh dengan tindak kekerasan atas dan pembantaian orang-orang sipil. Beberapa contoh berikut ini saja sudah cukup: peledakan Hotel King David pada tahun 1946; pembantaian Deir Yassin pada 1948, di mana penduduk desa yang tak berdosa disiksa dan dibunuh; pembantaian tak berprikemanusiaan di desa Qibya pada 1958; pembantaian di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla, yang dilakukan oleh milisi Libanon Kristen pro-Israel di bawah dukungan Ariel Sharon dan mengakibatkan hampir 3000 kematian; serangan atas Mesjid Aqsa pada 1990, yang menyebabkan 11 kematian dan hampir 800 orang luka-luka, pembantaian di Mesjid Ibrahim pada tahun 1994 selama sholat Subuh; pembantaian di kamp pengungsian Qana pada 1996; dan pengepungan terowongan oleh 4000 tentara pada 1999 adalah beberapa contoh saja dari kekerasan ini.
Mereka yang tewas dalam serangan ini adalah orang-orang tak berdosa yang tidak punya alat-alat untuk melindungi diri mereka sendiri. Pembantaian yang akan disebutkan di halaman-halaman berikut hanyalah contoh dari kekejaman dan teror yang telah berlanjut dari tahun 1947 hingga sekarang. Meski angka-angka ini penting artinya untuk menunjukkan besarnya penindasan Zionis, namun angka-angka tersebut bahkan tak bisa memulai penggambaran akibatnya yang mengerikan, khususnya karena penindasan itu masih berlangsung. Memang, hampir setiap hari semenjak 1947 selalu saja ada laporan berita tentang serangan, kematian, penyiksaan, dan kekerasan dari daerah-daerah yang diduduki oleh Israel. Sebagai contoh, ketika semua orang yang meninggal semenjak Oktober 2000 disebutkan, jumlahnya mencapai hampir 2000. (Angka ini tidak termasuk orang-orang yang terbunuh dalam Operasi Defensive Shield.) Dengan kata lain, orang-orang Israel melanjutkan pembunuhan harian ini dalam suatu cara sistematis.
Beberapa Contoh Setengah Abad Pemerintahan Teror Israel
Pembantaian King David, 1946: 92 tewas
Serangan ini dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan sepengetahuan David Ben Gurion, pejabat teras Zionis dalam masa itu. Sejumlah total 92 orang, terdiri atas orang Inggris, Palestina, dan Yahudi terbunuh dan 45 orang terluka parah.
Sembilan puluh dua orang, termasuk beberapa orang Inggris, terbunuh dalam sebuah serangan yang dilancarkan teroris Zionis atas Hotel King David pada tahun 1946. |
Pembantaian Baldat Al-Shaikh, 1947: 60 tewas
Enam puluh orang Palestina yang tengah terlelap di tempat tidurnya, di antara mereka para wanita, anak-anak, dan orang tua, kehilangan nyawanya karena serangan ini, yang dilakukan oleh 150-200 teroris Zionis. Serangan dimulai pada pukul 2 pagi dan berlangsung selama 4 jam.
Pembantaian Yehida, 1947: 13 tewas
Di Yehida, salah satu pemukiman pertama Zionis, para penyerang yang berpakaian seperti tentara Inggris menembaki orang-orang Islam.
Pembantaian Khisas, 1947: 10 tewas
Dua mobil yang dipenuhi anggota-anggota Haganah memasuki desa Khisas di perbatasan Libanon dan melakukan penembakan pada seseorang yang melintasi jalan mereka.
Pembantaian Qazaza, 1947: 5 anak-anak tewas
Lima anak kehilangan jiwanya dalam peristiwa ini, ketika teroris Zionis menembaki sebuah rumah dengan membabi buta.
Pembantaian Hotel Semirami, 1948: 19 tewas
Dalam sebuah operasi yang ditujukan untuk membuat orang-orang Palestina merasa tidak aman dan memaksa mereka keluar dari Yerusalem, sekelompok teroris Zionis yang dipimpin oleh presiden Israel pertama, David Ben Gurion, meledakkan Hotel Semirami. Sembilan belas orang terbunuh.
Pembantaian Naser al-Din, 1948
Sekelompok teroris Zionis berpakaian tentara Arab menembaki penduduk kota yang meninggalkan rumahnya untuk menyambut mereka. Hanya 40 orang yang lolos dari pembunuhan ini, dan desa tersebut terhapus dari peta.
Pembantaian Tantura, 1948: 200 tewas
Tantura, sekarang rumah dari sekitar 1500 pemukim Yahudi, adalah sebuah tempat pembantaian besar-besaran atas orang-orang Islam pada tahun 1948. Sejarawan Israel Teddy Katz menggambarkan serangan ini sebagai berikut: “Dari jumlahnya, ini benar-benar salah satu pembantaian yang terbesar."
Pembantaian Mesjid Dahmash, 1948: 100 tewas
Batalalion Komando Israel ke-89 yang dipimpin oleh Moshe Dayan, yang nantinya menjadi Menteri Pertahanan, mengumumkan kepada penduduk desa bahwa mereka akan aman hanya jika mereka berkumpul di mesjid. Akan tetapi, 100 orang Islam yang mencari tempat perlindungan tersebut justru dibantai di sana. Para penduduk yang ketakutan di Lydda dan Ramla meninggalkan tanahnya. Sekitar 60.000 orang Palestina keluar dari negerinya, dan 350 orang lebih tewas dalam perjalanan karena keadaan kesehatan yang parah.
Pembantaian Dawayma, 1948: 100 tewas
Serangan ini merupakan pembantaian terbesar yang dilakukan Israel. Sebagian besar yang terbunuh tengah berada di mesjid untuk melakukan sholat Jum’at. Wanita-wanita Palestina diperkosa selama serangan ini, sementara rumah-rumahnya diledakkan dengan dinamit, padahal ada orang di dalamnya.
Pembantaian Houla, 1948: 85 tewas
Tentara Israel memaksa 85 orang untuk masuk ke dalam sebuah rumah, kemudian rumah itu dibakar. Setelah itu, sebagian besar warga yang merasa takut melarikan diri ke Beirut. Dari 12.000 penduduk asli Houla, hanya 1200 orang yang tersisa.
Pembantaian Salha, 1948: 105 tewas
Setelah penduduk suatu desa dipaksa masuk ke mesjid, orang-orang tersebut dibakar hingga tak seorang pun yang tersisa hidup-hidup.
ORANG-ORANG PALESTINA TENGAH DIHABISI Kekejaman yang dialami oleh rakyat Palestina telah berlanjut selama lebih dari 50 tahun. Di Palestina hari ini, hampir mustahil menemukan sebuah keluarga yang tidak kehilangan puteranya karena peluru Israel. Lainnya ada pula yang lumpuh atau cacat, seperti terlihat di foto-foto ini. |
Pembantaian Deir Yassin, 1948: 254 tewas
Kenyataan bahwa agenda dunia dikendalikan oleh media Barat, yang sebagian besarnya memihak Israel, kadangkala mencegah peristiwa-peristiwa di Israel untuk diungkap. Namun, beberapa kejadian seperti kekerasan dan kekejaman telah didokumentasikan secara terperinci oleh lembaga-lembaga internasional. Inilah salah satu dari kejadian-kejadian itu, yang dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan Stem.
Pada malam 9 April, 1948, penduduk Deir Yassin terbangun karena perintah “mengosongkan desa” yang disuarakan oleh pengeras suara. Sebelum mereka mengerti apa yang tengah terjadi, mereka telah dibantai. Penyelidikan Palang Merah dan PBB yang dilakukan berturut-turut di tempat kejadian menunjukkan bahwa rumah-rumahnya pertama-tama dibakar lalu semua orang yang mencoba melarikan diri dari api ditembak mati. Selama serangan ini, wanita-wanita hamil dicabik perutnya dengan bayonet, hidup-hidup. Anggota tubuh korban dipotong-potong, lalu anak-anak dihantam dan diperkosa. Selama pembantaian Deir Yassin, 52 orang anak-anak disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka dibunuh sedang kepalanya dipenggal. Lebih dari 60 orang wanita terbunuh lalu tubuh-tubuh mereka dipotong-potong.35 Salah satu wanita yang melarikan diri hidup-hidup menceritakan pembantaian massal yang ia saksikan sebagai berikut:
Saya melihat seorang tentara memegangi saudara perempuan saya, Saliha al-Halabi, yang sedang hamil sembilan bulan. Ia menyorongkan sebuah senjata mesin pada lehernya, lalu memberondongkan seluruh pelurunya kepada saudara saya. Lalu ia beralih menjadi seorang jagal, ia mengambil sebuah pisau lalu menyayat perutnya hingga terburai lalu mengeluarkan janinnya yang telah mati dengan pisau Nazinya yang tak berprikemanusiaan.36
Tidak puas hanya dengan pembantian, para teroris lalu mengumpulkan seluruh perempuan dewasa dan remaja yang masih hidup, menanggalkan seluruh pakaian mereka, membaringkan mereka di mobil terbuka, membawa mereka sepanjang jalan daerah Yahudi di Yerusalem dalam keadaan telanjang. Jacques Reynier, perwakilan Palang Merah Palestina pada saat itu, yang melihat potongan-potongan mayat selama kunjungannya ke Deir Yassin pada hari serangan itu, hanya bisa berkata: “Keadaannya sudah mengerikan."37
Selama diadakannya serangan, 280 orang Islam, di antara mereka wanita dan anak-anak, mula-mula diarak di sepanjang jalan lalu ditembak seperti menjalani hukuman mati. Sebagian besar wanita yang masih remaja diperkosa sebelum ditembak mati, sedangkan remaja pria dikebiri kemaluannya.38
Orang-orang yang tiba di tempat pembantaian Deir Yassin hari berikutnya menemukan pemandangan yang menggetarkan: tubuh-tubuh tak berkepala, anak-anak yang dipotong-potong badannya, dan perut wanita yang terburai. |
Harus dijelaskan bahwa para teroris yang melakukan pembantaian massal ini bukanlah anggota organisasi radikal yang bertindak di luar hukum atau menentang kendali pemerintah; justru mereka itu dikendalikan langsung oleh pemerintah Israel.Pembantaian Deir Yassin dilakukan oleh kelompok Irgun dan Stern, di bawah kepemimpinan langsung Menachem Begin, yang di kemudian hari menjadi perdana menteri Israel.
Begin menggambarkan operasi tak berprikemanusiaan ini, yang hanyalah salah satu contoh dari kebijakan resmi kebrutalan Israel, dalam kata-kata: "pembantaian ini tidak hanya bisa dibenarkan, justru, tidak akan ada negara Israel tanpa ‘kemenangan’ di Deir Yassin."39 Para Zionis menjadikan serangan seperti itu untuk menteror orang-orang Palestina dan mengusir mereka dari tanah mereka sehingga imigran Yahudi punya tempat untuk hidup. Israel Eldad, seorang pemimpin Zionis yang terkenal, menyatakan hal ini secara terbuka ketika ia berkata: "Jika tidak ada Deir Yassin, setengah juta orang Arab akan tetap tinggal di negara Israel (pada tahun 1948). Negara Israel tidak akan pernah ada."40
Para Zionis menganggap pembersihan etnis seperti ini sebagai hal teramat penting untuk mendirikan negara Israel. Memang operasi-operasi ini, yang dilanjutkan setelah serangan Deir Yassin, menyebabkan banyak orang-orang Palestina meninggalkan tanahnya dan melarikan diri, atau menderita nasib yang sama seperti penduduk Deir Yassin.
Pembantaian di Qibya, 1953: 96 tewas
Serangan Zionis lainnya yang dirancang untuk “mendorong” orang-orang Palestina melarikan diri terjadi di Qibya, suatu desa dengan penduduk 2000 orang di perbatasan Yordania. Penyelidikan lebih lanjut di tempat kejadian yang dilakukan oleh beberapa pengamat dengan jelas mengungkap bagaimana pembantaian terjadi. Pembantaian Qibya, yang terjadi pada 13 Oktober 1953, meliputi penghancuran 40 rumah dan pembunuhan 96 orang sipil, sebagian besar di antara mereka wanita dan anak-anak. Unit “101” ini dipimpin oleh Ariel Sharon, yang nantinya juga menjadi salah satu perdana menteri Israel. Sekitar 600 tentaranya mengepung desa itu dan memutuskan hubungannya dengan seluruh desa Arab lainnya. Begitu memasukinya pada pukul 4 pagi, para teroris Zionis mulai secara terencana memusnahkan rumah-rumah dan membunuh penduduk-penduduknya. Sharon yang kalem, yang langsung memimpin serangan tersebut, mengumumkan pernyataan berikut setelah pembantaian: “Perintah telah dilaksanakan dengan sempurna: Qibya akan menjadi contoh untuk semua orang."41
Dr. Yousif Haikal, duta besar Yordania untuk PBB pada saat itu, menerangkan pembantaian ini dalam laporannya kepada Dewan Keamanan:
Orang-orang Israel memasuki desa dan secara terencana membunuh seluruh penghuni rumah, dengan menggunakan senjata-senjata otomatis, granat, dan bom bakar; lalu mendinamit rumah yang ada penghuninya… Empat puluh rumah, sekolah desa, dan sebuah waduk dihancurkan. Dua puluh dua ternak dibunuh dan enam toko dijarah.42
Jurnal Katolik terkenal The Sign, yang diterbitkan di Amerika Serikat, juga melaporkan pembantaian massal yang dilakukan selama serangan ini. Editor Ralph Gorman menerangkan pemikirannya sebagai berikut: “Teror menjadi sebuah senjata politik Nazi. NamunNazi tidak pernah menggunakan teror dengan cara yang lebih berdarah dingin dan tanpa alasan seperti yang dilakukan Israel dalam pembantaian di Qibya."43
Orang-orang yang kemudian datang ke tempat pembantaian ini menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Sebagian besar mayat mengalami luka tembak di belakang kepala, dan banyak yang tanpa kepala. Bersama orang-orang yang tewas di bawah reruntuhan rumah mereka, banyak wanita-wanita dan anak-anak tak berdosa yang juga dibunuh secara brutal.
Pembantaian Kafr Qasem, 1956: 49 tewas
In the Kafr Qasem attack, Israeli soldiers once again murdered innocent babies. |
Serangan di Kafr Qasem, ketika 49 orang tak bersalah, tanpa memandang wanita atau anak-anak, tua atau muda, dibunuh dengan brutal, terjadi pada 29 Oktober 1956. Pada hari itu juga, Israel melancarkan serangannya atas Mesir. Tentara garda depan Israel melakukan pembersihan sekitar pukul 4 sore, dan menyatakan bahwa mereka telah mengamankan perbatasan. Mereka berkata pada pejabat setempat di kota-kota perbatasan bahwa jam malam untuk kota tersebut mulai hari itu akan dimulai pukul 5 sore, bukan 6 sore seperti biasanya. Salah satu kota tersebut adalah Kafr Qasem, di dekat pemukiman Yahudi di Betah Tekfa.
Para penduduk kota baru diberitahu tentang jam malam tersebut pada pukul 4.45 sore. Pejabat setempat memberi tahu tentara Israel bahwa sebagian besar penduduk kota bekerja di luar kota, dan begitu mereka kembali dari kerjanya, mereka tidak mungkin mengetahui tentang perubahan tersebut. Pada saat yang sama, tentara Israel mulai mendirikan barikade di jalan masuk kota. Sementara itu, orang-orang yang bekerja di luar kota pun mulai kembali ke rumahnya. Kelompok pertama segera mencapai perbatasan kota. Apa yang terjadi berikutnya diceritakan oleh saksi mata Abdullah Samir Bedir:
Kami mencapai pintu masuk desa sekitar pukul 4.55 sore. Kami tiba-tiba dihadang oleh unit garda depan yang terdiri atas 12 tentara dan seorang pejabat, yang semuanya diangkut sebuah truk tentara. Kami memberi salam kepada pejabat dalam bahasa Ibrani, dengan berkata “Shalom Katsin”yang berarti “salam untuk Bapak,” tapi tak ada tanggapan. Dia kemudian menanyai kami dalam Bahasa Arab: “Apakah kalian bahagia?” lalu kami menjawab “Ya.” Para tentara mulai keluar dari truk dan sang pejabat memerintahkan kami untuk berbaris. Lalu ia menyerukan perintah ini kepada tentaranya: “Laktasour Otem,” yang berarti “Bereskan mereka!” Para tentara mulai menembak…44
Bedir, yang melarikan diri dari percobaan pembantaian yang mengerikan ini dengan berjudi antara hidup dan mati, sebenarnya bukanlah satu-satunya saksi mata kekejaman ini. Mulai saat itu, tentara Israel menghentikan setiap kendaraan yang mencoba memasuki kota itu dan menembak mati orang-orang di dalamnya. Di antara mereka ada anak laki-laki berusia 15 dan 16 tahun, remaja putri, dan wanita hamil. Orang-orang yang mendengarkan keributan dan keluar melihat apa yang terjadi ditembak karena melanggar jam malam begitu mereka melangkah ke luar. Tentara Israel diperintahkan bukan untuk menahan, melainkan menembak mati semua yang melanggar jam malam.
Kejadian ini, yang dilaporkan seluruhnya dalam catatan resmi Parlemen Israel, adalah salah satu contoh yang paling mengejutkan dari kebijakan resmi Israel.
Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (Qur'an, 2:11-12) |
Pembantaian Khan Yunis, 1956: 275 tewas
Tentara Israel yang menyerang kamp pengungsi di Khan Yunis membunuh 275 orang. Pejabat PBB yang melakukan penyelidikan di tempat kejadian menemukan korban-korban yang telah ditembak di belakang kepalanya setelah tangannya diikat.45
Pembantaian di Kota Gaza, 1956: 60 tewas
Dalam serangan ini, para Zionis membunuh 60 orang, termasuk wanita dan anak-anak.
Pembantaian Fakhani, 1981: 150 tewas
Akibat serangan udara Israel atas daerah Libanon, 150 orang tewas dan 600 luka-luka.46
Kamp pengungsian Khan Yunis telah menjadi sasaran bom Israel semenjak hari pendiriannya. Hampir 130.000 orang Palestina tinggal di dalam atau di dekat bangunan-bangunan runtuh.
Pada tahun 1994 Orang-orang Yahudi fanatik menyerang Mesjid Ibrahimi selama waktu sholat, membunuh 40 orang dan melukai seratus lainnya. Peristiwa ini menjadi sampul depan majalah Time. |
Pembantaian di Mesjid Ibrahimi, 1994: 50 tewas
Pada hari Jum’at, 25 Februari 1994, suatu pembantaian mengerikan terjadi di Palestina. Dalam sebuah serangan yang dilakukan oleh seorang Yahudi Zionis atas umat Islam yang tengah sholat Jum’at di Mesjid Ibrahimi, lebih dari 50 orang Islam tewas dan hampir 300 orang luka-luka. Beberapa orang yang terluka kemudian tewas karena luka yang dideritanya.
Pembantaian ini dilakukan oleh seorang Yahudi yang tinggal di pemukiman Yahudi Kiryat Arba di Hebron. Sang teroris juga menjadi anggota cadangan di angkatan bersenjata Israel dan anggota sebuah organisasi teroris Zionis. Sumber-sumber di Israel melaporkan bahwa ia mengenakan seragam militer selama serangan tersebut.
Penyerang menyusup ke dalam mesjid dan bersembunyi di belakang sebuah tiang sewaktu orang Islam melaksanakan sholat Subuh. Ketika mereka tengah rukuk bersama, ia memberondong mereka dengan sebuah senapan mesin. Menurut laporan saksi mata, ia tidak melakukannya sendiri, ia hanya menarik picunya saja. Begitu senjatanya kosong, temannya mengganti dengan yang baru.
Setelah kejadian ini, tentara Israel mengepung mesjid itu dan mencegah wartawan mendekatinya. Begitu banyak orang yang tewas ketika para tentara ini menembaki orang-orang Islam Palestina yang berdemonstrasi di sekitar mesjid untuk memprotes serangan tersebut.47
Pembantaian Qana, 1996: 109 tewas
Lebih dari 100 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, kehilangan jiwanya di kamp pengungsi Qana ketika mereka dibom oleh angkatan udara Israel. Pemandangan mengerikan karena pembantaian ini, termasuk anak-anak yang dipenggal kepalanya, tidak akan pernah terlupakan. Suatu tim pemeriksa dari PBB memastikan bahwa pembantaian ini disengaja.
Pembantaian Sabra dan Shatilla
"Saya harus membawa bayi-bayi dan menaruh mereka di dalam peti-peti berisi air untuk menghindari api. Ketika saya melihat mereka setengah jam kemudian, mereka masih membakar tempat itu. Bahkan di kamar mayat pun, mereka masih melakukan pembakaran selama berjam-jam.” Demikian Dr. Amal Shamaa dari rumah sakit Barbir, setelah amunisi fosfor Israel dibakar Beirut Barat, 29 Juli 1982.48
Selama pembantaian di Qana, kekuatan pendudukan Israel menganggap bayi-bayi yang tengah terlelap pun sebagai musuh mereka dan membunuh mereka tanpa ragu.
Foto-foto orang yang dibantai yang terjadi di Qana ini mencerminkan kenyataan sebenarnya kekejaman yang terjadi di Palestina. |
Operasi teroris Zionis untuk menakut-nakuti orang Palestina dan mengusir mereka dari tanah mereka setelah PD II mengakibatkan kematian ribuan orang-orang tak berdosa. Namun, serangan Israel atas kamp pengungsi Sabra dan Shatilla selama penyerangan Libanon 1982 akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu tindakan pembantaian etnis terburuk yang pernah dilakukan oleh Zionis. Selama serangan oleh kelompok Phalangis Kristen Libanon, dengan dukungan dan arahan tentara-tentara Israel, lebih dari 3000 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, terbunuh. Penelitian dan penyelidikan setelah itu memperlihatkan bahwa Ariel Sharon, yang saat itu menteri pertahanan Israel dan sekarang perdana menteri, bertanggung jawab atas operasi tersebut. Karena serangan berdarah ini, sekarang pun ia masih dikenal sebagai “Tukang Jagal dari Libanon."
Pembantaian mengerikan di kamp pengungsi Sabra dan Shatilla dilakukan di bawah perintah dan arahan Ariel Sharon, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan dan sekarang Perdana Menteri. |
Wartawan dan ahli Timur Tengah Robert Fisk melaporkan pemandangan mengerikan yang ia lihat segera setelah serangan tersebut dalam sebuah artikel yang ditulis setelah Sharon terpilih sebagai perdana menteri:
Bagi setiap orang yang berada di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla di Beirut pada 18 September 1982, namanya (Ariel Sharon) sama artinya dengan penjagalan, dengan mayat-mayat yang membengkak, dengan wanita-wanita yang terburai isi perutnya, dengan mayat-mayat bayi, dengan pemerkosaan, dan penjarahan dan pembunuhan… Bahkan ketika saya berjalan di atas jalan-jalan yang berbau busuk ini, lebih dari 18 tahun setelahnya… hantu-hantu masih bergentayangan. Di sana, di sisi jalan yang mengarah ke mesjid Sabra, berbaring Tn. Nouri, 90 tahun, berjanggut putih, berpiama dengan topi wol kecil yang masih melekat di kepalanya dan sebuah tongkat di sisinya. Saya menemukannya di atas tumpukan sampah, di punggungnya… Masih di jalan yang sama, saya berjalan melintasi dua orang wanita yang duduk tegak dengan otak tercerai berai, di samping tungku dapur… salah satu wanita itu kelihatannya lambungnya pun terburai. Beberapa meter jauhnya, saya menemukan bayi-bayi pertama, sudah menghitam karena membusuk, bergelimpangan di atas jalanan seperti sampah… lalat-lalat mengerubung berlomba-lomba di antara mayat-mayat dan muka-muka kami, di antara darah kering dan catatan wartawan, tangan-tangan dengan arloji masih berdetak di pergelangan yang mati. Saya naik merangkak ke atas benteng tanah, sebuah bulldozer yang telah ditinggalkan berdiri di dekatnya dengan perasaan bersalah, hanya untuk merasakan, bahwa begitu saya berada di atas gundukan itu, ia bergelayutan di bawah saya. Dan saya melihat ke bawah untuk menemukan muka-muka, siku-siku, mulut-mulut, kaki-kaki seorang perempuan menonjol ke luar dari dalam tanah. Saya harus berpegangan pada bagian-bagian tubuh ini untuk memanjat ke sisi lain. Lalu di sana ada wanita cantik, kepalanya dikelilingi oleh cahaya kancing-kancing baju, darahnya masih mengalir dari sebuah lubang di punggungnya.49
Dalam artikel lain, Fisk menggambarkan apa yang ia lihat ketika mengunjungi rumah-rumah sakit tempat orang-orang terluka tengah dirawat: “Apa yang kita lihat di sini tidak akan mudah kita lupakan. Mengunjungi rumah sakit Barbir berarti melihat apa yang dilakukan berondongan senjata pada daging."50
PEMBANTAIAN SABRA DAN SHATILLA |
Kekejaman yang dialami orang-orang tak bersalah dan mengenaskan ini haruslah menjadi peringatan bagi ideologi kepemimpinan Israel. Sebagian besar wanita yang terbunuh itu telah diperkosa. Para wanita hamil dirobek perutnya sehingga bayi-bayinya bisa direnggut keluar. Anak-anak sekitar 3 atau 4 tahun dibunuh di depan orang-orang tuanya. Kebanyakan lelaki dipotong telinga dan hidungnya sebelum ditembak mati.
Sebuah laporan berita tentang pembantaian muncul pada surat kabar Prancis Le Monde pada 13 Februari 2001. Nihad Hamad, yang berhasil selamat, sekarang berusia 42 tahun, menggambarkan apa yang telah terjadi:
Angkatan bersenjata Israel menghabiskan Rabu malam dan Kamis pagi mengepung kamp tersebut. Mereka ingin menutup sisi timurnya. Para mujahidin kami telah pergi. Di sini tak ada yang tertinggal selain beberapa anak berumur 15 atau 16… Pada Kamis malam, pengeboman terjadi dua kali. Kami sadar bahwa senapan ringan kami tidak akan ada gunanya. Setiap orang di bangunan ini adalah pengungsi. Setiap orang merasa takut. Orang-orang lanjut usia dari kelompok ini, orang-orang yang menjadi panutan, memutuskan untuk pergi menemui orang-orang Israel dan menyatakan pada mereka bahwa kamp akan menyerah. Dengan bendera putih di tangan mereka mereka masuk ke mobil dan pergi ke luar. Mereka tidak pernah kembali. Beberapa lelaki muda pergi dengan senjatanya dan pergi ke arah yang sama. Mereka pun tidak pernah kembali lagi, demikian pula orang-orang yang pergi mencari mereka. Kemudian kami sadar bahwa lebih baik kami meninggalkan tempat ini segera… Ratusan orang melarikan diri ke suatu tempat persembunyian yang sama di bagian utara kamp. Begitu banyak di antara kami yang hampir mati lemas. Ketika fajar menyingsing kesunyian kematian di mana-mana; tempat ini adalah sebuah kota hantu sekarang. Pengeboman pun berhenti. Satu kali kadang-kadang kami bisa mendengar satu letusan senjata. Kemudian, dari arah mesjid, jeritan seorang wanita memecah kesunyian.Rambutnya diacak-acak, bajunya yang koyak penuh darah. Ia seperti seorang yang hilang ingatan. Di kakinya ada anak-anak yang tenggorokannya telah digorok… Mereka berperilaku brutal, dan mereka menggunakan pisaunya dan alat-alat potong lain untuk melakukan pembunuhan dalam keheningan. Setelah para milisi menyelesaikan pekerjaannya di kamp tersebut, mereka menyelesaikan pekerjaan kotornya di Rumah Sakit Gaza. Mereka menyeret para dokter, perawat, dan yang terluka ke luar rumah sakit dan membunuh mereka. Jika orang-orang yang hilang dimasukkan, kita tahu bahwa antara 3000 dan 3.500 orang telah terbunuh.51
Sharon dikenal oleh orang-orang Arab dan seluruh dunia sebagai “Penjagal dari Libanon,” dan menunjukkan kekejamannya di segala kesempatan. |
Pemandangan mengerikan ini adalah pekerjaan Ariel Sharon, yang dikenal dengan pernyataannya seperti “Orang-orang Arab mengenal saya, dan saya mengenal mereka” serta melalui penggambarannya tentang orang Arab dengan istilah menyakitkan, seperti “hama." 52 Setelah Perang 1967, Sharon menyebabkan 160.000 orang Palestina meninggalkan Yerusalem Timur dan menjadi pengungsi. Teknik hukumannya meliputi pengeboman rumah, pembongkaran kamp pengungsi, dan penahanan ratusan pemuda tanpa alasan lalu menyiksa mereka. Ketika Sharon menjadi penanggung jawab keamanan di Jalur Gaza, ratusan orang Palestina dibunuh, ribuan ditahan dan diusir dari Palestina, dan di Gaza saja 2000 rumah telah dihancurkan dan 16.000 orang diusir untuk kedua kalinya. Pada saat pembantaian Sabra dan Shatilla, 14.000 orang (termasuk 13.000 orang sipil tak bersenjata) meninggal di tempat itu dalam beberapa minggu, dan sekitar setengah juta orang kehilangan tempat tinggal.
Kekejaman dan kebrutalan yang digambarkan di sini terjadi terus menerus di tanah Palestina selama 50 tahun terakhir. Bahkan, contoh-contoh yang disebutkan di atas hanyalah pembantaian ketika banyak orang-orang Palestina kehilangan jiwanya dalam satu hari saja. Kejadian yang serupa, di antara banyak lainnya, adalah sebagai berikut: 8 orang di al-Sammou, 1966; 7 orang di Adloun, 1978; 80 orang di Abbasieh, 1979; dan 20 orang di Saida, 1980. Di luar ini, beberapa orang terbunuh atau dibantai setiap hari selama bertahun-tahun. Dan setiap hari rumah-rumah masih saja dihancurkan dan orang-orang masih diusir dari tanah air mereka. Jelas, tujuan akhir Israel adalah untuk menakut-nakuti orang-orang Palestina, mengusir mereka dari tanahnya, dan menundukkan orang Palestina kepada keinginan mereka melalui sebuah kebijakan pembersihan etnis yang terencana.
Seluruh dunia menyaksikan ketika masyarakat ini dibantai, sewaktu mereka menghadapi pembasmian bangsa yang terang-terangan. Karena alasan tertentu, sebagian besar pemerintahan telah dan tetap mengabaikan praktek-praktek brutal dan tak berprikemanusiaan ini dan tidak menjatuhkan sanksi apa pun selain dari “mengutuk” pada saat tertentu saja.
Dalam karya klasiknya World Orders: Old and New, pengamat Timur Tengah Noam Chomsky menggambarkan pandangan pemerintah Israel tentang orang Palestina dan bagaimana ahli strategi Amerika menilai pandangan ini:
Tentang orang-orang Palestina, pejabat AS tidak punya alasan untuk mempertanyakan pendapat ahli pemerintahan Israel pada tahun 1948, bahwa para pengungsi harus bercampur dengan penduduk di negeri lain atau “akan diremukkan”: “beberapa di antara mereka akan mati dan sebagian besar mereka akan kembali ke debu dan sampah masyarakat, dan bergabung dengan kelompok termiskin di negara-negara Arab.” Oleh karena itu, tak perlu menyusahkan diri karena mereka. Penilaian seperti ini tetap berlaku hingga hari ini, bahkan menjadi kenyataan sewaktu kejadian-kejadian tersebut terungkap.53
Ramalan pejabat berwenang di Amerika dan Israel telah terwujud hari ini. Bahkan, kebijakan kekerasan dan intimidasi atas warga Palestina yang dilakukan selama masa pendirian Israel dan tahun-tahun pertama tetap tak mereda setelahnya.
Orang-orang Islam Palestina menghadapi cobaan dan kejahatan yang serupa seperti yang dialami oleh umat Islam sepanjang sejarah. Dalam Al-Qur'an, Allah mengingatkan orang-orang beriman tentang suatu masa (Bani Israil) mengenai kekerasan Fir’aun:
Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. (Qur'an, 2:49)
Jelaslah, Allah membantu orang-orang yang sabar, dan berdasarkan hukum-Nya, keselamatan selalu dinikmati orang-orang beriman yang benar, meskipun jumlah mereka sedikit, lemah, atau tertindas. Namun, kita juga harus mengetahui bahwa cobaan ini bukan hanya untuk orang-orang Islam di Palestina; Bahkan, cobaan ini semestinya dirasakan semua orang yang menyaksikan atau mengetahui kekejaman ini. Ini karena siapa pun dan bagaimana pun keadaannya, orang-orang Islam berkewajiban membantu orang-orang yang dizalimi dan tertindas. Dan pertolongan terbesar yang bisa mereka berikan adalah mengatasi kekejaman ini dari akarnya. Dengan kata lain, bantuan terbesar yang bisa diberikan manusia kepada orang-orang Palestina yang terus berjuang untuk kehidupan mereka di tengah-tengah kekacauan dan kesulitan yang terus terjadi adalah melakukan perjuangan pemikiran melawan paham dasar Zionisme: sikap Darwinistis Sosial, yang menyebabkan perpecahan, kekacauan, dan kekerasan.Harun Yahya
Reply
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Disini, Komentar Anda Sangat Berarti Bagi Kami. Jangan Lupa Memakai Sopan Santun :D
Blogger Widgets